Masihkah kita ingat atau paling tidak pernah mendengar nama Sakabato? Sebuah katana atau pedang panjang dengan ciri khas mata pisau terbalik kesayangan Himura Kenshin atau yang karib kita kenal dengan Samurai X, salah sebuah karakter protagonis utama dalam cerita fiksi Jepang, karya Nobuhiro Watsuki, seorang komikus terkenal yang lahir sekitar 51 tahun silam.
Sakabato adalah pedang terakhir Kenshin setelah ia bersumpah untuk tidak pernah membantai umat manusia lagi. Ia sangat menyesal karena selama ini telah menumpahkan darah di mana-mana. Kenshin adalah seorang pendekar ahli pedang terbaik di masanya. Walau demikian, ia tetap harus berlatih lagi menggunakan pedang barunya itu.
Pedang Sakabato termasuk pedang sangat berbahaya, ditempa oleh seorang pandai besi ahli dan tersohor. Bagian punggung pedang itu mampu melumpuhkan musuh dengan sekali tebas. Sedangkan bagian tajamnya tak perlu menunggu waktu lama untuk meregang nyawa lawannya.
Hemat saya, pedang Sakabato ini, kendati hanya fiktif belaka, cukup pantas menjadi ilustrasi bagaimana peran husnuzhzhan seorang hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, walaupun berbaik sangka kepada Allah itu baik, bahkan diperintahkan agama, tetapi satu sisi juga sangat berbahaya.
Ia memang bisa menjadi media penyelamat terampuh yang kita punya, namun juga sangat potensial sebagai ‘senjata makan tuan’ yang membinasakan. Tergantung apakah kita cukup pandai menggunakannya atau tidak. Sebagaimana pedang Sakabato tadi. Bila sang pemilik lihai memainkannya, maka ia akan selamat. Dan, jika tidak, maka akan celaka oleh pedangnya sendiri.
Husnuzhzhan kepada Allah, sejatinya adalah sebentuk ejawantah dari kelemahan kita sebagai hamba di hadapan sang pencipta. Bagaimana tidak, kita yang hina dina lagi tiada berdaya ini mustahil bisa melakukan apapun tanpa pertolongan-Nya. Lagi pula, Tuhanlah yang membuat kita ada dari yang sebelumnya tiada, dengan segala fasilitas dan pemberian-Nya secara cuma-cuma.
Lalu, masihkah terbersit prasangka buruk kepada-Nya? Masih tak cukupkah titah Allah, Wama rabbuka bi dzhallam(in) lil ‘abid, “Dan, Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-Nya” untuk meyakinkan kita? ‘Ala kulli hal, tak ada alasan untuk tidak berbaik sangka kepada Allah.
Namun, husnuzhzhan ini terkadang dipalingkan jauh dari sasaran sejatinya. Di mana, seharusnya sebagai ekspresi kelemahan, tetapi malah menjadi luapan kepongahan. Tak sedikit orang mengalami krisis rasa takut (khauf) kepada Allah hanya karena dimabuk kepercayaan bahwa dosanya ibarat sebutir debu di tengah sahara rahmat-Nya.
Durhakanya mungkin saja sepanjang tombak dibandingkan kasih sayang-Nya yang sepanjang jalan sehingga dengan enteng ia dapat berbuat apa saja semaunya tanpa menyadari siapa sebenarnya yang ia durhakai.
Alhasil, berbaik sangka semacam itu bukanlah satu persoalan, sedikit pun tidak. Namun, jangan sekali-kali mencederai haibah atau kemuliaan dan keagungan Tuhan. Sebab, seorang hamba yang tanpa rasa takut, tentu kehambaannya formalitas semata, nihil tanpa nilai. Apalah arti kata hamba bila di balik tirainya memendam sifat-sifat firauniah.
Dahulu, seorang sufi besar asal Baghdad bernama Ahmad bin Abi al-Hawari (w. 230 H) pernah menyampaikan satu adagium tentang husnuzhzhan kepada Allah yang ia peroleh dari sahabatnya, Abdurrahman bin Ahmad bin Athiyyah ad-Daraani (w. 215 H)-nisbat kepada tempat tinggalnya di kota Daraa, sekitar 90 kilometer di selatan Damaskus-yang berbunyi:
مَنْ حَسَّنَ ظَنَّهُ بِاللهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ لَا يَخَافُ اللهَ فَهُوَ مَخْدُوْعٌ
Artinya, “Seorang hamba yang berbaik sangka kepada Tuhannya, kemudian membuatnya berani (menabrak aturan Allah), sungguh ia tertipu dan teperdaya.” (kitab Husnuzhzhan Billah karya syekh Ibnu Abi ad-Dunya hal. 14 dalam poin ke-28)
Husnuzhzhan di sini semakna dengan raja’ (bersifat optimistis), yakin akan mendapat perlakuan baik dari Allah lantaran rahmat-Nya yang teramat besar. Dan, menciptakan keseimbangan antara khauf (bersifat pesimistis) dan raja’ memang tidak mudah kendati condong pada salah satunya bukanlah problem.
Terpenting, optimistis itu tidak menghapus pesimistis sama sekali, dan demikian sebaliknya karena raja’ tanpa khauf atau khauf tanpa raja’, sama-sama bermuara pada kegagalan.
Seorang ulama besar mazhab Hanafi yang hidup di abad ke-12 hijriah, syekh Muhammad bin Muhammad bin Musthofa bin Utsman yang akrab disapa Abu Sa’id al-Khadimi (w. 1156 H) dalam karya besarnya Bariqah Mahmudiyah fi Syarh Thariqah Muhammadiyah wa Syari’ah Nabawiyah fi Sirah Ahmadiyah (juz 2, hal. 184), menulis:
وَالْأَكْثَرُ هُمَا كَجَنَاحَي الطَيْرِ فَإن اعْتَدَلَا طَارَ وَإِلَّا فَإِمَّا أَنْ يَخْتَلَّ طَيَرَانُهُ أو لا يَطِيْرُ أَصْلًا فصَارَ كَالمَذْبُوْحِ
Artinya, “Mayoritas ulama memandang bahwa optimistis dan pesimistis laiknya dua sayap burung, bila keduanya berkepak stabil, maka sang burung akan terbang indah. Namun bila tidak, maka hanya ada dua kemungkinan; terbang dengan kacau-balau atau tidak bisa terbang sama sekali bagai burung yang telah diretas urat lehernya.”
Pesannya, jangan sampai husnuzhzhan kita kepada Allah malah menumbuhkan sifat firauniah kita. Bagaimana pun, diri ini harus punya rasa takut (khauf) kepada Tuhannya. Sebab, kesadaran akan hakikat kehambaan akan muncul dari rasa takut itu. Dan, mustahil seseorang mengenal siapa penciptanya sebelum terlebih dahulu menyadari hakikat penciptaannya sebagai hamba. Sebagaimana sebuah hadist yang hampir semua orang hafal, Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu, “Orang yang menyadari hakikat kelemahan dan hina dina dirinya, pastilah sadar akan hakikat kesempurnaan dan keagungan Tuhan-Nya”.
Terakhir, saya ingin mengutip sebuah Hadist Qudsi riwayat Abu Hurairah, dari baginda nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
أنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي فَإِنْ ظَنَّ بِيْ خَيْرًا فَلَهُ الخَيْرُ فَلَا تَظُنُّوا بالله إلَّا خَيْرًا
Artinya, “Sikapku tergantung bagaimana dugaan hambaku, bila menduga baik maka akan kuberi kebaikan. Maka, jangan sekali pun ada dugaan yang tak baik kepadaku!” (lihat Husnuzhzhan Billah milik Ibnu Abi ad-Dunya hal. 28 dalam poin ke-84).
Semoga tulisan singkat ini bermanfaat bagi saya dan orang lain. wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, alumni Ma’had Aly Ponpes Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.
Sumber: NU Online