Surabaya, NU Online
Di dunia pesantren, ada ragam ketimpangan yang terjadi. Setidaknya ada beberapa hal yang patut didiskusikan. Pertama, pemaknaan kiai dan ulama. Persoalan ini harus dipahami secara mendalam agar tidak menimbulkan ketimpangan baru.
Hal ini dikatakan Katib Syuriah PBNU KH Afifuddin Muhajir saat menjadi pembicara sesi kedua pada Halaqah Ulama yang dihelat oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Kementerian Agama RI di Hotel Singgasana Jl Gunungsari Surabaya, (2/12), siang.
Kiai Afif menjelaskan, antara kiai dan ulama memiliki perbedaan signifikan, baik khusus maupun umum.
“Menurut saya, ulama itu adalah man jama’a baina al-khasyyah wa al-fiqh (orang yang menggabungkan antara ketakutan kepada Allah dengan keilmuan mendalam). Sementara kiai belum tentu ulama. Mereka kadang keilmuannya tak mendalam apalagi takut kepada Allah,” jelas Kiai Afif.
Di Madura, lanjutnya, banyak kiai namun tak layak disebut ulama lantaran keilmuannya sangat tidak mumpuni. Sementara di tempat lain ada yang kualitas keilmuan sangat tinggi namun justru tidak disebut kiai, seperti Prof Dr M Quraish Shihab yang terkenal sebagai mufassir Indonesia abad ini.
“Saya kira, topik diskusi hari ini bukan meningkatkan pesantren, tapi mengembalikan nilai-nilai yang hilang (dari pesantren-red),” tegas Wakil Pengasuh Bagian Ilmiah Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo Jawa Timur ini.
Menurutnya, ketimpangan yang mendasar di pesantren ada tiga. Pertama, musykilat al-futhur al-himam. Sekarang ini banyak pesantren yang memiliki sekolah formal para santrinya justru mengatakan sekolah sambil mengaji, bukan sebaliknya, mengaji sambil sekolah. Jadi, adanya kesalahan niat ini menjadikan para santri gamang. Sehingga yang jarang bercita-cita tinggi untuk menjadi ulama seperti Mbah Hasyim Asy’ari, apalagi seperti ulama sekaliber Imam Syafi’i.
Yang kedua, lanjutnya, musykilat al-mutalaqqi. Dari siapa orang mendapat ilmu? Ada yang menjawab dari internet, dari buku, dan lainnya. Menurut Kiai Afif, Khudhori Beik dalam kitab Tarikh Tasyri’ al-Islamiy berpendapat bahwa kitab tidak layak dijadikan guru. Yang menjadi guru harus manusia, khususnya yang memiliki kebaikan dan kesantunan.
“Jika tidak berguru, bukan tidak mungkin gurunya adalah setan. Dampaknya adalah kesalahpahaman terhadap ilmu tersebut. Pada dasarnya, ilmu yang mestinya indah menjadi tidak indah lantaran tidak disampaikan dengan indah,” ujarnya.
Yang ketiga, tambahnya, musykilat al-kutub al-muqarrarah. Baginya, kriteria kitab kuning (Kutub al-Turats) musti dipahami. Mengutip pendapat mufti Mesir, kutub al-turats adalah kitab yang dikarang kira-kira 100 tahun silam. (mukafi niam)