Pasuruan, NU Online
Budayawan asal Madura D Zawawi Imron menilai, pesantren menyimpan tradisi luhur yang lebih fokus pada instropeksi dan perbaikan diri sendiri ketimbang mencari dan mudah memvonis salah pihak lain.
Kiai berjuluk “Penyair Celurit Emas” ini menyampaikan hal itu dalam seminar kebudayaan yang diselenggarakan Pengurus Cabang Lemabga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Pasuruan, Jawa Timur di Aula BMT Pesantren Sidogiri Pasuruan, Ahad (01/12).
“Kebudayaan pesantren pada prinsipnya adalah tradisi rendah Hati, tidak menyalahkan orang lain, sebelum ‘menyalahkan’ diri sendiri. Karena kemuliaan diri hanya Allah yang menilai,” ujarnya.
Namun, karakter kebudayaan pesantren ada yang hilang, sebagai akibat kebijakan Orde Baru yang mencoba intervensi. Sembari menegaskan agar mencari tradisi pesantren yang hilang, Zawawi menyatakan bahwa pesantren harus menjaga sikap tawaduk.
“Contoh karakter yang harus tetap ada, lebih bagus menjadi orang yang merasa tersesat, tetapi sebenarnya di jalan yang benar, daripada merasa benar tetapi di jalan yang sesat,” katanya.
“Ini sebagai penerjemahan dari ajaran Sunan Kalijogo ‘Dadio wong sing iso rumongso, ojo dadi wong sing rumongso iso (jadilah orang yang bisa merasa, bukan merasa bisa, red),” lanjutnya dalam seminar bertajuk “Memaknai Keberagaman Budaya melalui Spirit Keagamaan dan Kearifan Lokal”, yang dihadiri jajaran syuriyah, tanfidziyah, utusan MWC, dan delegasi pesantren-pesantren.
Mengutip WS Rendra, Zawawi meminta para hadirin menghormati warisan budaya para leluhur. “Harus kita pertimbangkan untuk menghadapi era kini. Banyak yang baik, untuk kita pakai, tapi ada juga yang harus disesuaikan.”
Zawawi juga berbagi cerita soal bagaimana kiai di Madura mengubah tradisi kultus dan ‘menyembah’ makam menjadi tradisi bertawassul. “Dengan kalimat sederhana: ‘Baca Fatihah sekali, lebih disukai bagi wali yang kau hormati ini daripada kamu menyembah seribu kali!”
Di akhir paparannya, Zawawi berpesan agar pesantren turut aktif di dunia seni. “Bila pesantren tidak lagi berkesenian, maka habislah pesantren. Tolong jangan jauhkan seni, budaya dan sastra dari Pesantren.”
Dalam kesempatan yang sama, penyair Binhad Nurrohmat yang juga menjadi narasumber mengungkapkan, kearifan lokal pesantren kini tengah menghadapi sebuah tantangan. “Fenomena dangdut koplo antara lain di Pasuruan, menunjukkan bahwa kearifan Lokal kalangan pesantren sudah memiliki musuh baru yang bernama ‘kebejatan Lokal’,” paparnya.
Menurut dia, kearifan lokal adalah sebuah rumus kehidupan yang tumbuh, dipahami dan diyakini oleh komunitas masyarakat tertentu, sehingga menjadi prinsip abadi. “Contoh orang Jawa punya prinsip ‘ojo metani salahe liyan, ojo ngitung becike dewe’ (jangan mencari-cari kesalahan orang lain dan menghitung-hitung kebaikannya sendiri),” tuturnya.
(Fajar Ardana/Mahbib)