Setiap Desember, haul Gus Dur digelar dimana-mana. Bukan hanya oleh pihak keluarga, tetapi juga masyarakat luas, para perindunya. Sebagai bentuk pelestarian terhadap pandangan Gus Dur, refleksi terhadap permasalahan kontemporer, atau sekedar mengenang sang guru bangsa bertepatan dengan bulan kewafatan beliau.
Beberapa waktu lalu, di pendopo LKiS Sorowajan, saya sempat menyaksikan betapa guyubnya GUSDURian dari berbagai daerah berdiskusi untuk membahas nilai-nilai dasar Gus Dur yang wajib dilestarikan. Dalam musyawarah yang berlangsung sejak pagi hingga petang itu ditelurkan sembilan nilai dasar Gus Dur. Yakni ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan lokal. Saya heran, semua nilai itu beraroma serius dan tegang. Tidak ada nilai yang mengekspresikan sosok Gus Dur yang paling nampak di mata dunia, disebar kemana-mana, yakni kesantaian dan kelucuan.
Entah sudah berapa ratus kali lelucon-lelucon Gus Dur diterbitkan. Entah sudah berapa ribu kali kalimat ampuhnya, “Gitu aja kok repot!”, dikutip orang-orang. Rasanya, sosok sekaliber Gus Dur tidak menampakkan kesantaian secara vulgar tanpa tujuan. Mulai dari guyonan-guyonan yang ia lontarkan hingga tingkah yang begitu rileks ketika keluar dari istana saat dilengserkan.
Andai saja ada kajian tentang guyonan mantan presiden yang kiai ini, pasti ditemukan harta karun yang berharga: ilmu. Agama adalah salah satu tema dari sekian banyak bidang yang dibungkus dalam wadah lelucon oleh Gus Dur. Di tengah menegangnya hubungan antar pemeluk agama, keyakinan, dan pemahaman akhir-akhir ini, alangkah sejuk bila sikap santai Gus Dur disemarakkan kembali oleh penerusnya.
Momen Natal, tahun baru, hingga Maulid Nabi menjadi komoditas perdebatan yang laku keras saat ini. Terutama bagi umat Islam. Seakan-akan semua itu adalah hal baru yang muncul satu dua tahun lalu. Klaim kebenaran menjadi hal yang lumrah, caci maki dan cap pengkafiran pun ramai diteriakkan. Bahkan belakangan, dalil-dalil teologis diseret dan diperkosa untuk melampiaskan nafsu politik dalam perebutan suara di ibu kota. Semua pihak terjebak dalam sikap berlebih-lebihan, baik yang pro maupun kontra. Urat syaraf menegang dan senyum pun menjadi barang langka. Kalaupun ada, sekadar basa-basi belaka.
Pendekatan guyon ala Gus Dur tidak hanya memantik senyum, tetapi juga menumbuhkan keakraban yang sulit dibentuk dengan formalitas. Setidaknya tiga potong lelucon Gus Dur berikut ini bisa menggambarkan betapa santainya beliau menyikapi perbedaan keyakinan dan pemahaman keagamaan. Suatu sikap yang bijak dan segar sebagai bentuk kedewasaan beragama. Bukan untuk menyepelekan apalagi melecehkan.
***
Kisah pertama tentang para pemuka agama. Seorang pandita Hindu, seorang pastor Katolik, dan seorang kiai Islam, memperdebatkan tentang siapa di antara mereka yang paling dekat dengan Tuhan.
“Kami!” ujar pandita Hindu, “Kami memanggil Dia ‘Om’, seperti kami menyebut paman kami,” katanya sambil merapatkan kedua tangan di dada, “Om, shanti, shanti, Om..”
“Kalau begitu, kamilah yang jelas lebih dekat kepada Tuhan!” ujar pendeta Katolik, “Kami memanggil Dia ‘Bapa’. Bapa kami yang ada di Surga.”
Kiai terdiam. Ia merenung. Pandita dan pastor menunggu tanggapan.
“Kami? Hmm.. Boro-boro dekat, memanggil Dia saja musti pakai menara, pakai teriak-teriak pula,” sahut sang kiai, santai.
Guyon kedua, Kiai Said Aqil Siroj berkisah, saat internet baru marak di Indonesia, seseorang bertanya kepada Gus Dur mengenai keabsahan menikah melalui internet. Mendapat pertanyaan begitu, dengan ringan Gus Dur menjawab,
“Akad nikah lewat internet itu sah,” katanya, “Tapi kelonane juga harus lewat internet.”
Satu lagi. Setiap Selasa, sebagaimana dikisahkan Mahfud MD, Gus Dur dan para menteri kerap sarapan bersama di kediaman Wakil Presiden Megawati. Gus Dur bercerita tentang perbedaan kisah Nabi Ibrahim yang akan menyembelih anaknya. Dalam versi Islam, anak Ibrahim yang akan dikorbankan adalah Ismail sementara menurut agama Yahudi adalah Ishak. Suatu ketika, Gus Dur ditanya versi mana yang benar.
“Dua-duanya, baik Ismail maupun Ishak, tidak jadi disembelih,” jawabnya, “Jadi buat apa diributkan?”
***
Tiga potong lelucon Gus Dur di atas bukan tanpa makna. Ia sarat pelajaran, tak sekadar pengembang ujung bibir pengundang tawa. Tapi saya tidak perlu menjabarkan apa saja pelajaran itu. Mungkin Anda akan tersinggung dengan guyonan agama di atas, kecuali jika Anda memiliki kerendahhatian atau selera humor yang tinggi.
Akhirnya, meskipun Bulan Gus Dur telah usai, saya yakin tirakat rileks dalam keseriusan akan tetap langgeng diamalkan perindunya pada bulan-bulan ke depan. Apalagi, nampaknya, atmosfer nasional tahun baru ini akan lebih ‘panas’ dari tahun yang lama.
Krapyak, 30 Desember 2013