Jakarta, NU Online
Pemasangan baliho bergambar tokoh agama dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dilakukan sejumlah politisi ataupun menempelkan gambar Gus Dur yang dilakukan kalangan masyarakat bukanlah cara yang tepat untuk meneladani sang tokoh yang merakyat itu.
Putri almarhum mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid yaitu Alissa Wahid menggambarkan sosok ayahnya adalah sosok yang tidak tidak pernah mengajarkan orang lain dengan ceramah kebaikan, melainkan dengan perilakunya. Misalnya, dengan kata-kata ikhlas harus melakukan “ini dan itu”, tidak begitu, tapi almarhum selalu mengajarkan dengan tindakan.
“Keluarga pernah mengingatkan bapak yang selalu menolong orang yang datang, padahal tidak sedikit di antara mereka hanya menipu, mencari “sesuatu” dengan gampang. Banyak orang yang menitipkan (uang) ke bapak untuk diberikan kepada yang membutuhkan. Saat itu, jawabannya, kalau urusan itu (menipu) itu urusan dia sama Gusti Allah,” ucapnya, mengenang.
Ia mengatakan Gus Dur tidak pernah bersikap “suudhon” (buruk sangka) kepada orang lain dan selalu bersikap “husnudhon” (berbaik sangka), karenanya ia sangat bangga mempunyai figur ayah yang demikian, dan sosok seperti itu terus ia tanamkan pada keluarga ataupun rekan-rekannya.
“Suatu ketika, saya pernah menasihati anak yang menolak untuk diajak makan di Malioboro. Saat itu, anak saya beranggapan merasa tidak nyaman karena saat ia makan, orang lain sedang bekerja. Namun, saya memberikan masukan dan pengertian, tentang kondisi mereka dan upaya mereka untuk mencari nafkah. Saya memberikan pandangan berbeda, saya perlihatkan banyak orang yang hidupnya seperti itu (bekerja keras), serba kekurangan dan jika tidak bersama mereka, maka kita tidak bisa menolong mereka,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan kepada anaknya saat itu, melihat masyarakat, berusaha membuat kebijakan harus dengan melihat kondisi mereka langsung dan jangan hanya melihat dari kota besar sekelas Jakarta, sebab Indonesia itu bukan hanya Jakarta, melainkan luas.
Putri sulung mantan Presiden Gus Dur ini juga pernah teringat dengan kejadian yang membuatnya sangat prihatin. Saat itu, putrinya sedang berulang tahun pada Mei 2009 dan Gus Dur datang ke rumahnya, Jogjakarta.
Gus Dur meminta sejumlah uang kepadanya yang digunakan sebagai “pegangan”, karena Gus Dur mengatakan tidak punya uang saat itu. Padahal, ayahandanya tersebut tidak pernah mau meminta pada anak-anaknya, sehingga jika sampai meminta uang benar-benar beliau tidak mempunyai uang.
“Saat itu, saya tanya ke bapak, untuk proyek atau apa, tapi hanya dijawab untuk pegangan,”paparnya.
Ia menyebut Gus Dur sebenarnya tidak sulit untuk bisa mendapatkan sejumlah materi. Banyak orang yang datang memberikan uang, bahkan uang pensiun pun ada. Terlebih lagi, ayahnya seorang mantan Presiden.
Namun, ia sadar prinsip Gus Dur tentang “terima kasih”, yaitu “saya terima, saya kasihkan” pada masyarakat yang membutuhkan. Bahkan, uang pensiun, ia yang memegang dan tidak pernah digunakan sendiri.
Secara personal, kata dia, itu adalah puncak penghayatan dirinya betapa ikhlasnya Gus Dur dalam berjuang, bahkan untuk pegangan sendiri saja tidak punya.
“Betapa Gus Dur berjuang untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri,” kata perempuan yang aktif dalam jaringan Gusdurian ini. (antara/mukafi niam)