Surabaya — Sejarah telah mencatat, ratusan bahkan jutaan masyarakat yang awalnya beragama Hindu dan Budha tertarik menjadi muslim. Hal tersebut terjadi lantaran para ulama mendakwahkan agama di Tanah Air secara santun. Bahkan tradisi yang ada diisi dengan nuansa islami.
Penjelasan ini disampaikan Ustadz Ma’ruf Khozin ketika menjadi pemateri pada Kajian Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah atau Kiswah. Kegiatan ini diselenggarakan oleh PW Aswaja NU Center Jawa Timur, Sabtu (1/10/2016) sore.
Ratusan ribu orang diislamkan oleh para Walisongo dengan tanpa menggunakan senjata,” kata Dewan Pakar PW Aswaja NU Center Jatim tersebut. Hal ini bisa terjadi lantaran dakwah yang dilakukan menghargai tradisi setempat serta mengemasnya dengan muatan islami, lanjutnya.
“Kalau sekarang, banyak kalangan yang mengafirkan orang yang nyata-nyata muslim,” keluhnya. Padahal yang bersangkutan belum pernah mengislamkan. “Jangankan ratusan orang, satu orang saja belum pernah diislamkan oleh mereka yang gemar mengafirkan tersebut,” sergahnya.
Kearifan dalam berdakwah inilah yang sekarang harus ditiru kaum muslimin, khususnya aktifis Nahdlatul Ulama. “Tradisi yang telah mengakar di masyarakat hendaknya dimaknai sebagai kearifan lokal, dan selama tidak bertentangan dengan syariat tentu tak layak dikatakan sebagai tradisi kaum kafir,” ungkapnya.
Ustadz Ma’ruf kemudian memberikan contoh sebagian kalangan yang gemar memelihara benda pusaka semacam keris dan sebagainya untuk tidak dicap sebagai orang menyekutukan Allah SWT. “Selama tetap meyakini bahwa penentu segalanya adalah Allah, memelihara benda pusaka dan sejenisnya tidak dilarang,” tegasnya.
Alumus Pesantren Lirboyo Kediri ini, kemudian membandingkan dengan kecenderungan orang modern untuk mempercayakan serta pasrah kepada dokter ketika sakit. “Kalau dokter dianggap bisa menyembuhkan penyakit, maka itu sama saja dengan menyekutukan Allah,” tukasnya.
Pekerjaan berat bagi kaum muslimin khususnya penyeru agama adalah tidak mudah mengafirkan kalangan lain. Hal tersebut semakin penting untuk disadari khususnya kala memasuki bulan Muharram yang dalam tradisi Jawa dikenal dengan bulan Suro yang dikenal angker.
Dalam menjalankan perintah agama, ada tiga ukuran yang dapat menjadi pegangan. “Yang pertama adalah berdasarkan al-Qur’an dan hadits, kedua adalah pendapat ulama serta tradisi yang tidak bertentangan dengan syara,” pungkasnya. (saiful)
Originally posted on 7 November 2016 @ 09:54