Surabaya — Memiliki usaha penerbitan buku tidak semata diniati untuk mendapatkan keuntungan materi. Yang lebih utama adalah perjuangan Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) dan menjaga kepercayaan pelanggan serta jaringan distribusi.
M Ma’ruf Asrori menyampaikan pengalaman tersebut saat tampil pada sarasehan dan musyawarah penerbit pesantren dan nahdliyin Jawa Timur di Museum NU Surabaya, Ahad (8/11).
Direktur Utama Khalista Surabaya ini mengemukakan bahwa menggeluti dunia penerbitan buku harus dilandasi dengan ketekunan. “Tekun mencari percetakan yang kompetitif, naskah yang laku di pasar, jaringan distribusi yang luas, serta menjaga kepercayaan yang sudah didapat,” ungkapnya.
Yang juga tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah jangan melihat prestasi para penerbit saat ini. “Hasil yang sudah diraih saat ini merupakan upaya maksimal yang telah dilakukan beberapa tahun sebelumnya,” katanya.
Karena itu siapa saja yang akan berkutat di dunia penerbitan, maka yang harus ditekankan adalah tekun dalam mengembangkan usaha dan menjaga kualitas. “Soal jaringan distribusi, maka mereka yang akan memulai bisnis ini dapat menanyakan kepada sejumlah rekan yang lebih dulu berkecimpung,” katanya. Hal itu akan lebih memudahkan agar tidak belajar dari awal, lanjutnya.
Demikian pula alumnus Fakultas Adab Sastra Arab UIN Sunan Ampel Surabaya ini mengingatkan bahwa uang bukan sebagai modal utama dalam memulai usaha. “Andai kita jujur dan dapat dipercaya, maka tidak sedikit mitra percetakan maupun perorangan yang akan memberikan pinjaman,” ungkapnya.
Ia lantas menceritakan bahwa buku pertama yang diterbitkan Khalista justru didapat dari seorang kiai. “Setelah saya mampu melunasi, seluruh pinjaman saya kembalikan,” katanya. Bahkan kiai yang bersangkutan masih memberikan kesempatan untuk meminjamkan dana, tapi dirinya menolak.
Wakil Ketua PP LTNU ini juga tidak menampik bahwa usaha menerbitkan buku sebagai keahlian yang langka. Tidak sedikit penerbit yang gagal eksis saat berganti kepemilikan. “Saat tahun 80 maupun 90-an kita bisa lihat sejumlah penerbit dari kalangan nahdliyin yang berkibar,” katanya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, beberapa diantaranya justru tidak terdengar lagi kiprahnya di dunia penerbitan buku.
Dalam pandangannya, kemunduran bahkan kebangkrutan penerbit bisa karena penerusnya kurang bisa menjalin komunikasi dengan para ilmuan maupun penulis. “Banyak penerbit yang gagal melakukan komunikasi dengan penulis potensial seperti saat generasi pertama,” ungkapnya. Padahal dengan para penulis harus adasilaturrahim agar tidak kehabisan naskah yang berkualitas, lanjutnya.
Terlepas dari itu semua, Pak Ma’ruf mengajak para aktifis penerbit di pesantren maupun NU untuk terus mengambangkan silaturrahim. “Ini pentiung demi terjaganya Islam Ahlussunnah wal Jamaah di tengah tantangan yang semakin berat,” pungkasnya. (A Nabil Mubarak)