Mahallul qiyam atau berdiri untuk menghormati sesuatu sebetulnya sudah menjadi tradisi kita. Bahkan tidak jarang, orang berdiri untuk menghormati benda mati. Misalnya, setiap kali upacara bendera dilaksanakan pada hari Senin, setiap tanggal 17 Agustus, maupun pada waktu yang lain. Ketika bendera merah putih dinaikkan dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan, maka seluruh peserta upacara diharuskan berdiri. Tujuannya tidak lain hanya untuk menghormat bendera merah putih dan mengenang jasa para pejuang bangsa.
Berdiri Saat Shalawat adalah Bentuk Penghormatan
Maka demikian pula dengan berdiri ketika membaca shalawat.[1] Hal itu adalah salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai hamba Allah SWT yang paling mulia. Nabi SAW bersabda:
عَن أَبِيْ سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ لِلأَنْصَارِ، قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُمْ أَوْ خَيْرِكُمْ (رواه مسلم ، 3314)
Dari Abi Sa’id Al-Khudri beliau berkata, “Rasulullah SAW bersabda pada sahabat Anshar, ‘Berdirilah kalian untuk tuan kalian atau orang yang paling baik di antara kalian’.” (HR. Muslim [3314]).
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki menyatakan bahwa Imam al-Barzanji di dalam kitab Maulid-nya yang berbentuk prosa menyatakan,
“Sebagian para imam ahli hadits yang mulia itu menganggap baik (istihsan) berdiri ketika disebutkan sejarah kelahiran Nabi SAW. Betapa beruntungnya orang yang mengagungkan Nabi SAW, dan menjadikan hal itu sebagai puncak tujuan hidupnya.”
(Al-Bayan wa al-Ta‘rif fi Dzikra al-Mawlid al-Nabawi, hal. 29-30).[]
[1] Jika dalam upacara bendera saja harus berdiri, tentu berdiri untuk menghormat Nabi Muhammad SAW lebih layak dilakukan sebagai ekspresi dari bentuk penghormatan. Bukankah Nabi Muhammad SAW adalah manusia teragung yang layak untuk lebih dihormati dari pada yang lain.
Sumber: KH. Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU.