Jakarta, NU Online
Sudah niscaya bagi para santri di pesantren tentang Islam Nusantara. Secara riil, kehidupan pesantren sudah mewakili model Islam Nusantara. Tinggal mengilmiahkannya, bahwa Islam Nusantara atau Islam Indonesia tidak radikal dan bukan teroris.
Demikian disampaikan oleh Ketua Umum PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siroj dalam kegiatan pemetaan kembali kurikulum sekaligus mengevaluasi perkuliahaan di Program Studi Kajian Islam Nusantara di Pascasarjana Program Magister (PPM) STAINU Jakarta.
Kegiatan tersebut berlangsung di ruangmedia center lantai 5 gedung PBNU Jl Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, Selasa (24/2) dan diikuti oleh para dosen Pascasarjana STAINU Jakarta.
Di tengah suasana negara Timur Tengah yang kacau, Kiai Said mengajak para dosen untuk menunjukkan bahwa Islam Nusantara beda dengan yang lain. “Kita tunjukkan, kita ini beda. ISIS lebih berhasil menghancurkansyum’ah (kredibilitas) Islam daripada majalahCharlie Hebdo. Betul, ini benar-benar al-fitnah al-kubra. ISIS justru lebih sadis dari al-Qaeda, padahal ini sempalannya,” ungkapnya.
Kiai Said menambahkan, jika al-Qaeda sasarannya nonmuslim, maka sasaran ISIS justru banyak bukan hanya kalangan Islam, tetapi juga dari golongan lain. Hal ini terjadi karena orang Timteng tidak lepas dari fanatisme kesukuan. Partainya juga berbasis kesukuan. Jika ada konflik politik pasti merembet ke hal-hal lain, bahkan sampai habis-habisan.
“Semua konflik mereka ini hanya untuk mempertahankan gengsi saja,” terang Kiai Said.
Kiai Said mensinyalir, di Timur Tengah antara nasionalisme dan muwathanah (kewarganegaraan) dengan Islam masih belum selesai. Presiden Mesir terguling, Mohammad Mursi misalnya, yang pernah sepuluh tahun tinggal di AS begitu jadi presiden mengganti lagu kebangsaan dengan mars Ikhwanul Muslimin.
“Itu kan picik banget (pemikirannya),” tegasnya.
Padahal, lanjut Kiai Said, masyarakat dunia Islam berharap Mursi tampil mewakili Ikhwan yang moderat. Ternyata tidak demikian. “Tak hanya itu, semua gubernur, tinggal 4 orang saja yang belum diganti. Bahkan, Syaikh al-Azhar mau diganti oleh IM juga,” paparnya.
Lebih lanjut Kiai Said mencontohkan, di Arab Saudi yang namanya kekuasaan itu harus ada garis keturunan. Oleh karena itu, rakyat Saudi hingga detik ini akan tetap mempertahankan Dinasti Saud dan madzhab Wahabi.
“Karena baru kali ini ada penduduk asli dari pedalaman Saudi yang memimpin negara. Kalau sebelumnya, yakni zaman Bani Umayyah, itu Arab juga. Tapi beda dengan sekarang,” paparnya.
Kiai Said mengajak para dosen STAINU untuk mempertahankan jati diri muslim yang berwawasan kebangsaan. “Saya ingin dari sini lahir muslim yang nasionalis juga memperkuat jati diri masing-masing,” harapnya.
Kiai Said mengajak para dosen untuk meneladani kiai pesantren, misalnya, yang lebih bangga desanya dikenal oleh masyarakat daripada nama pesantrennya. Namun, perwujudan itu kini berbeda. Moral bangsa belum terwujud.
“Kesempatan NU untuk menguatkan moralitas bangsa dan menggerakkan pendidikan berbasis wawasan kebangsaan,” ujarnya.
Para dosen yang hadir antara lain Ki Agus Sunyoto, Dr Rumadi, Syaiful Arif, Prof Dr M Dien Madjid, Dr A Fudhaili Hasyim, Dr Sa’dullah Affandi, Dr Mamat S Burhanuddin, dan Dr Nasrullah Jasam.
Hadir juga berturut-turut Puka I, IV dan III STAINU Jakarta Imam Bukhori, MPd., Aris Adi Leksono, MMPd., dan Ahmad Nurul Huda, MPd., serta Ketua BP3TNU Dr KH Mujib Qulyubi. Juga perwakilan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Dr Suwendi. (Musthofa Asrori/Fathoni)
http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,57828-lang,id-c,nasional-t,Kiai+Said++Kehidupan+Pesantren+adalah+Model+Islam+Nusantara-.phpx