Surabaya — Bagi KH Miftachul Akhyar, Muktamar ke-33 menjadi tonggak bagi terjaganya jati diri NU. Dengan dipilihnya sistem Ahlul Halli wal Aqdi atau Ahwa, maka kebersamaan NU di masa mendatang lebih terjaga.
“Dengan ditinggalkannya sistem voting dan berganti menjadi Ahlul Halli wal Aqdi atau Ahwa, maka hal ini akan melestarikan kebersamaan di dalam NU,” tandas Rais Syuriah PWNU Jatim ini. Hal tersebut disampaikan Kiai Miftah, sapaan akrabnya usai acara Halal bihalal dan Tasyakuran Sukses Muktamar ke-33 NU yang diselenggarakan Sabtu (22/8) siang. Kegiatan dihadiri Wakil Gubernur, H Saifullah Yusuf, para kiai dan utusan dari PCNU se Jawa Timur.
Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Miftahussunnah Surabaya ini, pemilihan langsung atau voting selama ini tidak menjamin terpilihnya orang terbaik dalam NU. “Voting juga menjadi penyebab kader terbaik justru kalah dengan mereka yang memiliki kepentingan,” tandasnya.
Manfaat lain dari sistem Ahwa adalah jati diri NU semakin terjaga. “Karena jati diri NU adalah kami, atau kebersamaan,” terang kiai yang dipercaya sebagai Wakil Rais Aam PBNU ini. Dan dari Ahwa pula, maka ulama menjadi penentu bagi terpilihnya pemimpin di NU, lanjutnya.
Kiai Miftah tidak menampik bahwa Ahwa yang digunakan pada Muktamar ke-33 NU memiliki kelemahan. “Karena itu Ahwa akan kita kritisi, mana kelemahan yang ada untuk diperbaiki,” tandasnya.
Namun demikian, dengan dipergunakannya model Ahwa saat memilih pemimpin di NU menjadi tonggak baru bagi kembalinya jati diri. “Muktamar kali ini sukses karena telah berhasil mengembalikan jati diri NU yang sebenarnya,” pungkasnya. (Syaifullah)