Penulis: Tim Admin
Zaman dahulu kala, dalam peradaban Islam, suasana keilmuan begitu hidup. Orang-orang begitu semangat mempelajari dan menguasai suatu ilmu.
Sejarah mencatat, bahwa di antara beberapa faktor yang bisa menumbuhkan semangat keilmuan itu adalah apresiasi berkelas yang didapat oleh orang yang mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk ilmu. Dan apresiasi itu tiada lain muncul dari para penguasa.
Banyak ilmu maupun pemikiran yang tersebar, karena para pemimpin zaman dulu memang memberikan apresiasi/hadiah bagi siapapun yang mampu menguasai dan menghafal kitab-kitab tertentu.
Abu Zur’ah, penguasa Damaskus abad ketiga memberi hadiah kepada siapa saja yang mampu menghafal kitab Mukhtashar al-Muzani.
Abu Zur’ah inilah yang memasukkan mazhab asy-Syafi’i di Damaskus di tengah gempuran mazhab Auza’i digunakan di wilayah itu. Ia memberikan hadiah kepada siapa saja yang mampu menghafal kitab Mukhtashar al-Muzani sebanyak 100 dinar.
Katakan 1 dinar setara dengan 4.25 gram emas. Jika 1 gram emas dihargai Rp1.000.000, maka hadiah dari Abu Zur’ah kepada penghafal kitab Mukhtashar al-Muzani adalah 425 juta rupiah! Wow!
Isa al-Sulthan al-Mu’azhzham, penguasa Damaskus abad ke-6, begitu mencintai mazhab Hanafi. Ia pun memberikan hadiah bagi siapa saja yang hafal al-Jami’ al-Kabir—sebuah kitab fikih mazhab Hanafi. Hadiah itu berupa uang sebesar 200 dinar.
Sedangkan bagi yang hafal kitab al-Idhah—kitab tentang ilmu nahwu—akan memperoleh hadiah uang sebesar 30 dinar. Lalu bagi yang hafal kitab al-Mufashshal—kitab nahwu karya az-Zamakhsyari—akan mendapat hadiah 100 dinar.
Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh penguasa berakidah Sunni. Penguasa berakidah Syiah—untuk menyebarkan paham Syiah—ternyata juga memberikan hadiah bagi siapa saja yang berhasil menghafal kitab-kitab mereka.
Khalifah Adz-Dzahir, penguasa Daulah Fathimiyah abad keempat, memberikan hadiah bagi siapa saja yang hafal kitab Da’aim al-Islam wa Dzikri al-Halal wa al-Haram karya Qadhi an-Nu’man—salah satu tokoh penyebaran mazhab Syiah al-Bathiniyah.
Apresiasi memang menjadi cara efektif yang dilakukan para penguasa zaman dahulu untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran, menumbuhkan semangat dan menghidupkan iklim keilmuan di tengah-tengah masyarakat.
Imam al-Ghazali menyatakan bahwa uang negara mal al-mashalih, harus disalurkan kepada orang-orang yang mempunyai andil dalam kemaslahatan yang bersifat umum. Termasuk orang-orang ini adalah para ulama, pengajar, dan santri/pelajar.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’nya berkata,
“Jika orang-orang ini diberikan apresiasi oleh penguasa, maka itu bisa membangkitkan iklim keilmuan dan masyarakat akan termotivasi untuk bisa seperti mereka. Inilah hikmah dan manfaat dari adanya apresiasi yang memadai.”
Dan apabila orang-orang ini tak memperoleh apresiasi, maka mari kita shalat dengan empat kali takbir tanpa rukuk dan sujud. Kita niatkan shalat jenazah atas kematian ilmu di wilayah itu.
Tugas penguasa, kata Imam Al-Ghazali, adalah mengurusi dzawahir al-khashshah wa al-‘ammah—hal-hal yang menyangkut zahir masyarakat—bukan hal-hal yang menyangkut batin masyarakat.
Masalah penegakan hukum, keadilan, ketegasan dan kesejahteraan adalah hal-hal yang menyangkut zahir masyarakat. Dan inilah wilayah garapan penguasa. Sedangkan masalah moral, akhlak, dan keikhlasan adalah hal-hal yang menyangkut batin masyarakat. Ini bukan wilayah garapan penguasa.
Referensi:
Tajuddin Abi Nasr Abdul Wahab bin Ali Abdul Kafi as-Subki. Thabaqat as-Syafi’iyah al-Kubra li as-Subki.
Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi al-Fariqi. Tarikh al-Islam wa Wafayaat al-Masyahir wa al-I’lam li adz-Dzahabi.
Penulis: Faurok Tsabat. Mutakharijin Pondok Pesantren Lirboyo Kediri tahun 2017. Penulis beberapa buku keislaman, seperti Rihlah semesta bersama Jibril a.s., Ulama-Ulama Takut Istri, Rihlah Tahfizh, dan lain-lain.. Sekarang giat di dalam berbagai aktivitas bahtsul masail.
Penulis: Tim Admin
Sumber: https://aswajamuda.com/hadiah-ratusan-juta-bagi-penghafal-kitab/