Ngaji Kitab Jalaul Afkar Bab Bersyukur – Oleh :KH M. KH IHYA’ ULUMIDDIN, Allah ta’ala dalam memberikan nikamt kepada kita tiada pernah mampu di kalkulasi dengan angka. Demikian banyak kenikmatan yang kita rasakan. namun semua itu menuntut kita agar selalu pintar menjadi hamba yang bersyukur. Sebab semua kenikmatan yang kita rasakan dikala didunia akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah subhanahu wataala.
الحديث العشرون في الشكر
عن عبد الله بن عمرو العاص رضي الله عنهما قال :قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: ان الله يحب ان يرى اثر نعمته على عبده.
Dari Abdullah bin Amr al Ash Rodliyallohu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala senang bekas nikmat-Nya berbekas pada hamba-Nya.
Allah ta’ala dalam memberikan nikamt kepada kita tiada pernah mampu di kalkulasi dengan angka. Demikian banyak kenikmatan yang kita rasakan. namun semua itu menuntut kita agar selalu pintar menjadi hamba yang bersyukur. Sebab semua kenikmatan yang kita rasakan dikala didunia akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah subhanahu wataala.
) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ (8
kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At Takatsur: 8).
وَيَوْمَ يُعْرَضُ الَّذِينَ كَفَرُوا عَلَى النَّارِ أَذْهَبْتُمْ طَيِّبَاتِكُمْ فِي حَيَاتِكُمُ الدُّنْيَا وَاسْتَمْتَعْتُمْ بِهَا فَالْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنْتُمْ تَسْتَكْبِرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَبِمَا كُنْتُمْ تَفْسُقُونَ
“Dan (ingatlah) hari (kiamat, ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka, (kepada mereka dikatakan): ‘Kamu telah menghabiskan rejekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja), dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan, karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi, tanpa hak dan kamu telah fasik’.” – (QS.46:20)
Salah satu cara mensyukuri kenikmatan yang dilimpahkan kepada kita, adalah dengan mengungkapkan pujian kepada Allah melalui lisan. Ucapan seperti alhamdulillah, masyaAllah la quwwata illa billah, dan lain sebagainya seharusnya seringkali kita jadikan sebagai penghias lisan, sebagai sebentuk refleksi syukur atas segala kenikmatan yang kita peroleh.
Selain itu, ekspresi kesyukuran juga seharusnya sampai kepada wilayah aksi. Sehingga kenikmatan yang diperoleh seseorang bisa meluas dan bisa dirasakan orang lain.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الأرْضِ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagian mudari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.(QS. Al Qoshos:77)
Seperti apa yang pernah disampaikan Imam Syathibi, bahwa syukur itu melihat pemberi nikmat bukan nikmat itu sendiri (Rukyatul mun’im la rukyatunnikmah). Meskipun kecil, tapi jika semua itu dari Allah, untuk bisa mensyukuri maka yang kita lihat adalah sosok yang memberi yakni Allah buka kenikmatan itu sendiri. Seperti jika seorang yang kita cintai memberikan uang katakan sepuluh ribu, maka sebab kecintaan yang begitu besar uang pemberian itu kemudian tidak kita belanjakan justru malah disimpan.
Bersyukur juga berarti menampakkan implikasi kenikmatan dalam bersikap. Allah ta’ala justru senang jika seseorang alak diberi kekayaan menampakkan kenikmatan yang diberikan Allah itu dengan tidak membakhili diri sendiri. Memakai baju yang bagus, makan yang enak, dan lain-lain. Meski memang mesti dalam batas kewajaran dan tidak berlebih-lebihan.
Ada keterangan yang membuat kita lebih bisa mengerti bagaimana bersyukur.
الشكر ينتظم من علم و حال و عمل
Syukur itu terangkai dari pengetahuan, sikap, dan aksi.
Mengetahui bahwa kenikmatan yang kita peroleh adalah dari Allah ta’ala al Mun’im. Seseorang ketika mendapatkan sesuap nasi atau hanya sebutir nasi maka keduanya sama-sama dari Allah. Suatu saat ia mendapatkan uang seribu pada saat yang lain ia mendapatkan satu juta, maka keduanya juga sama-sama dari Allah. Maka dari itu, ketika seseorang biasanya mendapat seratus ribu, namun pada satu saat ia hanya mendapat sepuluh ribu, lantas ia katakan alhamdulillah berarti ia mengerti sosok yang memberikan ia nikmat yang itu tiada lain adalah Allah azza wa jalla.
Kemudian, sikap yang semestinya terlihat dari orang yang bersyukur, adalah bergembira dengan apa yang ia peroleh. Sementara sinyal kegembiraan bisa kita lihat dari raut muka dan juga lisannya. Dua-duanya merupakan potret jelas baik di kala ia susah atau senang. Namun, sebenarnya kita semestinya merasa gembira dimanapun, kapanpun dan dalam keadaan bagaimanapun. Sebab hidup itu sendiri adalah ujian. Maka pada saat kita mendapatkan kesusahan meskipun secara manusiawi kita akan merasakan susah, namun bagaimana caranya tidak dibikin susah.
Seseorang kala dikasih sesuatu orang lain saja maka semestinya mengekspresikan kegembiraan dihadapan orang yang memberi, karena jika tanpa ekspresi maka orang yang memberi akan tidak enak hati. Dan mungkin saja orang itu akan merasa kapok untuk kembali memberinya lagi.
Kala kita diberi makanan maka usahakan jangan sampai dibuang-buang, sebab bisa jadi dengan hal itu Allah akan murka sehingga ia akan mendapatkan ujian dari Allah. Bahkan lebih jauh dari itu, jika ada makanan jatuh semestinya kita bersihkan lantas kita makan. Sebab menganggap jijik suatu makanan bisa jadi masuk dalam kasus peremehan nikmat kepada Allah azza wajalla.
Pada dasarnya, manusia dikala mendapatkan nikmat hal yang harus ia lakukan selanjutnya adalah mensyukuri. Namun ada saja orang yang malah bersikap kufur dan melampaui batas terhadap nikmat-nikmat yang diberikan Allah. Ini adalah satu sikap yang tidak riil sama sekali, yang sempat difirmankan Allah dalam al-Qur’an surat al-Alaq ayat 6-7:
كلا ان الانسان ليطغى, ان رآه استغنى (العلق 6-7)
“Ketahuilah sesungguhnya manusia itu benar-benar melampui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup”. (Al-Alaq :6-7)
Merasa cukup, bisa jadi dengan harta yang ia miliki (al maal) , kedudukan (al jaah), keilmuan (al ilm) dan atau dengan banyaknya pengikut (katsrotul atba’)
Melampaui batas (thogho), adalah seperti ketika seseorang merasa menjadi manusia yang paling baik dan mulya, ia juga hobi sekali membicarakan masalah harga diri. Yang padahal semua yang ia dapatkan tidak lain sumbernya adalah dari Allah. Yang padahal harta benda merupakan esensi yang mudah hilang (‘arodlun zail). Seseorang barangkali sudah lama sekali mengumpulkan, tiba-tiba ia jatuh sakit sehingga harta bendanya habis. Sekian lama menunggu masa panen tiba-tiba datang hama wereng.
Harta seringkali membuat orang menjadi semena-mena dan sombong ketika semua itu masih ia miliki. Ia tidak sadar bahwa semua itu jika Allah berkehendak semuanya akan terbalik, sehingga ia menjadi miskin. Maka kita mesti berfikir dan merenungkan bahwa kaya itu bukan predikat yang akan kita sandang selamanya. Suatu saat roda kehidupan akan berputar, seseorang yang kaya akan kembali menjadi miskin.
Begitu juga terkait jabatan, ia juga tidak mungkin akan langgeng. Maka ingatlah dikala kita menjadi pejabat, suatu saat kita juga akan kembali turun menjadi rakyat. Dikala kita menduduki suatu jabatan, sadarlah bahwa pada saatnya kita akan mengalami pensiun juga.
Berkaitan dengan Ilmu, bahwa ilmu yang diberikan Allah kepada manusia demikian sedikit. Allah berfirman:
وما أوتيتم من العلم الا قليلا }
Artinya : …sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.
Sehingga amat keterlaluan jika ada orang yang sombong dengan ilmunya yang sedikit. Apa yang manusia miliki hanyalah layaknya setetes air yang menetes dari jarum yang kita masukkan kelautan yang begitu luas. Seseorang yang dengan ilmunya dia punya pendapat yang membahayakan, atau mempunyai ideologi yang bertentangan dengan Islam. Maka ilmu yang seperti ini tiada akan membawa manfaat, justru yang akan timbul adalah madlorot untuk dirinya dan orang lain. Apalagi jika ia sampai menulis buku yang kemudian ia sebarkan. Meskipun jasadnya telah terkubur, pemikiran itu masih tetap dibaca dan dipelajari oleh banyak orang.
العلم ثلاثة وما سوى ذلك فهو فضل، القران والسنة والفريضة العادلة
Ilmu itu ada tiga, al Qur’an, al Hadits, dan dan al faridloh al adilah (seperti ilmu faroidl) Dan selain itu adalah fadlun.
Jika fadlun jamaknya fadloil tidak masalah, sebab merupakan kelengkapan dan aksesoris hidup. namun jika jamaknya fudlul, maka akan membawa ekses negatif. Fudlul berarti suatu Ilmu yang hanya mengurus urusan dunia tanpa mengerti sama sekali ilmu agama. Membuat kita jauh dari Allah dan Islam.
Banyak pengikut membuat diri seseorang merasa luar biasa. Ia mau menggunakan berbagai cara yang bisa membuat orang lain terpesona, entah dengan olah kata, atau dengan ilmu gendam yang ia miliki. Banyak pengikut banyak membuat orang menjadi sombong dan berbangga diri. Ia tidak mau memperhatikan orang lain, yang padahal termasuk dari ekspresi ketawadluan terlihat dengan senangnya seseorang memperhatikan orang lain, siapapun itu.Seseorang yang memiliki sifat memperhatikan orang berarti dia tawadlu. Kepada siapapun ia memperhatikan. Orang seperti ini pada hari kiamat secara fisik akan seperti semut-semut kecil. Atau itu hanya ilustrasi kehinaan bukan secara fisik. Seorang anak petani diambil menantu oleh seorang kyai akhirnya menyandang gelar baru sebagai “gusdak” (gus mendadak), ia memiliki pengikut banyak, lantas pada akhirnya sikapnya berubah, sombongnya terlihat, berlaku semena-mena, hobi menyuruh-nyuruh. Kasus seperti ini juga termasuk sikap melampaui batas dalam kenikmatan ilmu dan banyaknya pengikut.
La takun kallan alannas. Jangan jadi beban untuk orang lain. Seseorang jika tidak mau membuat orang lain direpoti, itu namanya istighna’ aninnas (usaha agar tidak butuh kepada orang lain). Sikap seperti ini sangat baik. Entah dalam masalah keilmuan, harta, kedudukan, ataupun pengikut yang banyak. Kecuali dalam dunia tarbiah. Suatu saat seprang pendidik dalam menerapkan metode pendidikannya kadang kala merepotkan dan memberikan beban para muridnya. Maka hal itu tidak masalah, sebab ini termasuk cara membentuk seseorang berkarakter tanggung jawab, rendah hati, dan tidak melihat diri.
Seorang pemilik ilmu semestinya memakai ilmunya untuk menjalankan apa yang diperintahkan bagi orang yang memiliki ilmu. Memakainya sebagai media untuk membuat orang menjadi baik akhlaqnya, dengan jalan low profil, santun terhadap orang yang tidak mengerti. Mengajari yang masih bodoh. Seseorang yang menguasai sekian kitab hadits besar-besar sementara hidup di lingkungan yang awwam, maka tidak masalah jika ia harus mengajarkan safinah. Low profil itu tetap dengan menjaga kewibawaan sebagai seorang yang berilmu, tidak mudah dibeli, apa lagi mengeluarkan fatwa yang mendukung satu pihak yang diharapkan memberikan keuntungan pribadi.
Pemilik harta, dengan cara memberikan kasih sayang kepada orang lain dengan hartanya, zakat adalah sebuah kewajiban tapi bagaimana kabar infaq. Dengan uang, seseorang akan sangat cepat mendapatkan simpati dari masyarakat. Bagaimana memproses kita diri menjadi orang yang dermawan dengan harta yang kita miliki.
Kesuksesan seorang adalah dikala kita bisa memberikan kemanfaatan bagi orang lain, memakai apa yang ia miliki, baik harta, ilmu, kedudukan, atau banyaknya pengikut. Sehingga orang itu tidak terjebak pada sifat sombong
.
” الْخَلْقُ كُلُّهُمْ عِيَالُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ، فَأَحَبُّهُمْ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْفَعُهُمْ لِعِيَالِهِ ” رواه البزار
Seluruh makhluk adalah keluarga Allah azza wajalla, yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi keluarganya (HR. Al Bazzar).
Sifat sifat ahlulloh:
- Sakhowatunnafsi ( Dermawan)
- Al Itsar, mengutamakan orang lain, menepis sikap egois.
ويؤثرون علي انفسهم ولو كان بهم خصاصة – – ,artinya : Dan mereka mengutamakan ( orang-orang Muhajirin ), atas diri mereka sendiri,
Sahabat Rasul hasil didikan rasul seluruhnya berhasil membuang sikap egois - Al Musamahah, ada orang yang sebenarnya memiliki hak membalas, tapi ia lebih memilih untuk memaafkan, justru jika bisa lebih dari itu sampai membalas dengan kebaikan maka itu lebih baik. Ada orang yang suka menfitnah malah sering dikirimi duit, maka pada saatnya dia akan diam, sebab al insan abdul ihsan
Imam fudhail bin iyadl:
Banyak orang jadi walinya Allah bukan sebab banyak sholat sunnah, atau puasanya namun karena tiga hal:
- Sakhowatunnafsi
- Salamatisshodri
- Arrohmah bil ummah
Pejabat, kasih sayang kepada rakyat, menegakkan keadilan, bermuamalah dengan mereka dengan kesadaran , Tidak menggunakan jabatan sebagai satu kesempatan untuk kepentingan pribadi. Umar bin abdul aziz adalah profil pejabat yang ideal. Suatu saat ia dikantornya diajak bicara tentang kepentingan pribadi, maka sebelumnya ia menyuruh mematikan lampunya, sebab lampu itu milik negara.
Semoga kita dihindarkan dari sifat melampaui batas dalam kenikmatan yang Allah berikan, entah ilmu, harta, jabatan, atau pengikut yang banyak. Menjadi insan yang pandai bersyukur melalui refleksi dan aksi. Alhamdulillah alladzi bini’matihi tatimmussholihat.
Wallahu ta’ala a’lam
Semoga bermanfaat.
Taklim pagi, kitab Jalaul Afkar min kalami Sayyidil Basyar, Karya Abi KH. Ihya’ Ulumiddin.(sabiqul khoirot/Danis)
Originally posted on 4 February 2016 @ 14:21