Imlek di antara Perjuangan Gus Dur Melawan Korporatokrasi – Era-era tahun 45-60an adalah era di mana negara-negara lepas dari penjajahan, baik diberikan sebagai hadiah maupun hasil perjuangan mengusir penjajah.
Deretan itu mulai dari Indonesia sampai negara-negara di jazirah Arab dan Amerika Latin, mereka tumbuh dalam negara-negara yang baru merdeka. Hingga semangat kemerdekaan para founding fathers negara-negara itu tidak dapat ditaklukkan oleh neo-kolonialisme, yaitu bersekongkolnya kapitalis besar dengan rencana politik negara-negara besar atau biasa disebut Korporatokrasi, seperti Amerika Serikat yang memiliki rencana Tatanan Dunia Baru.
Hingga di seputar tahun 60-70an, negara-negara itu digantikan oleh pemerintah baru yang condong kepada pemegang kekuasaan korporatokrasi, Indonesia berganti ke pak Harto, Irak, Libya, Mesir, Tunisia, Yaman, Columbia, Chili, Suriah, Maroko, dan masih banyak negara lainnya.
Pergantian penguasa ini dibarengi dengan penandatanganan kontrak yang menjadi awal pengelolaan atau pengerukan kekayaan negara-negara yang dikalahkan tersebut, kontrak jangka panjang berdurasi 30-an tahun pada sumber daya alam ataupun kebijakan finansial negara-negara tersebut.
Indonesia dengan hasil buminya seperti tambang, Jazirah arab dengan minyak dan gas alamnya, Amerika Latin dengan gas alamnya. Hingga pada akhir pergantian abad menjelang kontrak habis, para negara korporatokrasi tersebut memaksakan kembali kontrak-kontraknya untuk diperpanjang tanpa alasan atau keberatan.
Maka pada akhir abad dan awal abad itu banyak terjadi huru-hara di negara-negara yang dikendalikan oleh korporatokrasi dengan timbangan kekuasaan atau penandatangan perpanjangan kontrak.
Proses huru-hara pergantian kekuasaan adalah ujian keberhasilan para pemimpin rezim tersebut dan masyarakat negara-negara tersebut untuk memiliki kemandirian berdikari mampu memiliki kebersatuan bangsanya.
Ujian baru bagi para tokoh pemimpin-pemimpin bangsa itu dari huru-hara seputar negosiasi dengan kelompok korporatokrasi tersebut, akankah mementingkan kekuasaannya atau menjadikan dirinya tumbal bagi pembangunan bangsanya yang lebih kokoh.
Indonesia dalam masa huru-hara tersebut sangat beruntung memiliki presiden Abdurrahman Wahid, presiden dari kalangan kyai yang sudah tidak peduli dengan embel-embel dan kenikmatan pribadi maupun keluarganya.
Maka, memberikan porsi yang sama bagi kalangan Tionghoa terhadap warga negara Indonesia lainnya adalah sumbangan yang sangat besar bagi keutuhan dan kerukunan bangsa pada waktu itu.
Sudah sangat pantas dan layak, bila di hari-hari menjelang Imlek ini, kalangan Tionghoa Indonesia berterima kasih kepada kyai Abdurrahman Wahid atau yang sering disebut dengan Gus Dur, sejenak doakan beliau menurut keyakinan masing-masing.(Usma/Danis)
Originally posted on 7 February 2016 @ 11:15