Surabaya, Meskipun berlabelkan pondok pesantren, namun penguatan dan pendalaman Aswaja ala NU di kawasan Mestong Muaro Jambi harus dilakukan. Hal ini disebabkan banyak ustadz yang masih belum memiliki pemahaman dan kedalaman materi keagamaan khususnya dalam keaswajaan.
Pengalaman ini disampaikan Ustadz Fathul Qodier yang beberapa waktu lalu diundang Pondok Pesantren Al-Muttaqin di Desa Ibru, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi. “Kegiatan selama di sana adalah pendalaman Aswaja yang dihadiri para ustadz dan kiai dari sejumlah pesantren sekitar,” katanya kepada NU Online, Sabtu (23/5).
Dalam pandangan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo Kediri ini, kondisi itu terjadi lantaran para pemangku pesantren di sana belum memiliki banyak guru atau ustadz yang memiliki kemampuan dalam penguasaan kitab kuning. “Apalagi untuk secara sistematis mengenal tahapan bagi pendalaman Aswaja ala NU,” katanya.
Hal tersebut sangat terasa saat pengenalan materi dan tanggapan yang disampaikan para peserta utusan dari puluhan pesantren tersebut. “Dari 150 peserta yang mengikuti kegiatan, dapat dipastikan pemahaman mereka harus ditingkatkan,” kata alumnus pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya ini. Karena itu kegiatan pendalaman yang berlangsung hanya setengah hari tersebut idealnya dapat ditindaklanjuti pada kesempatan berbeda, lanjutnya.
Selama kegiatan, ustadz kelahiran 14 Juni 1976 ini memberikan pemahaman tentang permasalahan umum dalam aswaja. Demikian juga sebab kemunculan firqah atau aliran dalam sejarah Islam. “Juga tantangan yang harus diantisipasi bagi Aswaja NU dari berbagai aspek,” terangnya.
Aktivis PW Aswaja NU Center Jawa Timur ini mengemukakan bahwa minat masyarakat di kawasan tersebut untuk mendirikan pesantren cukup tinggi. “Kalau dilihat dari jumlah penduduk dan pembangunan di daerah tersebut sangat potensial,” terangnya. Keinginan kuat dari para wali santri maupun murid untuk memilih pesantren sebagai tempat memperdalam ajaran agama Islam juga sangat membanggakan, lanjutnya.
Namun yang sangat dikhawatirkan adalah masuknya sejumlah ustadz atau guru yang beraliran bukan Aswaja dan memberikan pemahaman keagamaan di sejumlah pesantren yang ada. “Ini bisa saja terjadi karena indikasi ke arah sana sudah sangat terasa,” terangnya.
Hal tersebut diperparah lantaran sejumlah media massa khususnya radio non Aswaja kerap menyuguhkan siaran dengan tema Islam garis keras yang cenderung menyudutkan para pengamal tradisi NU.
Karena itu, salah seorang staf pengajar di Pesantren Mahasiswa Al-Husna Surabaya ini mengharap agar semakin banyak yang memberikan perhatian kepada kawasan ini. “Antusias masyarakat untuk memondokkan putra dan putrinya harus diimbangi dengan ketersediaan para pengelola pesantren yang memiliki kemampuan, baik secara menejerial maupun kedalaman agama,” pungkasnya.
Ustadz Fathul Qodier mengisi pendalaman Aswaja bersama KH Ali Maschan Moesa MSi yang juga pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Husna. (syaifullah)