Penulis: Muhammad Atidlånga jeanskjolar långa jeanskjolar amazon bodenfliesen bunt stetson straw cowboy hats selected frakke brun hypervenom nike acc florida state jersey rosenthal landscape superfit galaxy black stetson hat best jordans casio g shock dw 5600e 1ver ua old skool fsu jersey telecomando came g117 498f fw
Perbedaan penetapan hari raya merupakan hal yang sudah maklum kita alami setiap tahunnya di Indonesia. Akan tetapi, hal ini terkadang malah menimbulkan problem bagi sebagian khatib—penceramah, pengkhotbah.
Bagaimana tidak. Terkadang, seorang khatib diminta berkhotbah hari raya di suatu tempat yang hari shalat ‘Iednya berbeda dengan yang diyakininya. Entah lebih awal atau lebih akhir.
Sehingga, terkadang satu khatib bisa saja berkhutbah dua kali. Baik dalam keadaan masih puasa karena dirinya berkeyakinan bahwa hari raya jatuh keesokan harinya, atau bisa jadi sebaliknya.
Lantas bagaimana fikih menyikapi masalah tersebut?
Baik. Mari kita lihat dulu salah satu hadis nabi yang ada di dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim di bawah ini.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: شَهِدْتُ صَلَاةَ الْفِطْرِ مَعَ نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ، فَكُلُّهُمْ يُصَلِّيهَا قَبْلَ الْخُطْبَةِ، ثُمَّ يَخْطُبُ
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata, ‘Saya telah menyaksikan shalat Idulfitri bersama Nabi saw., Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka semua melaksanakan shalat Idulfitri sebelum khotbah, lalu berkhotbah.”
Imam An-Nawawi di dalam syarah Shahih Muslim mengatakan, di dalam hadis itu terkandung dalil bagi semua ulama bahwa khotbah shalat ‘Ied itu dilaksanakan setelah shalat. Sementara shalat ‘Ied itu dimulai tanpa didahului azan dan iqamah terlebih dahulu. Ini adalah ijma’nya para ulama.
Sahkah shalat ‘Ied ketika dipimpin oleh imam yang masih berpuasa?
Sebagian kelompok yang memproklamirkan hari rayanya mendahului yang lain, tentu tidak bisa dipaksa untuk seragam. Sebab hal itu boleh saja terjadi karena perbedaan dasar-dasar ijtihad di dalam menentukannya. Oleh sebab itu, Imam as-Subki di dalam Fatawinya berkata
ولو أن واحدا رأى وحده أفتاه بأن يفطر سرا ويكون ذلك يوم فطره وليس ذلك يوم فطر غيره بل يوم فطره من الغد إن لم يثبت برؤية وهذا يدلعلى أنه ليس فطر كل أحد يوم فطر
“Jika sungguh seseorang telah melihat (hilal) sendirian, maka berfatwa untuk dirinya sendiri. Yakni dengan tidak berpuasa esok harinya secara sembunyi sembunyi. Dan hari itu adalah hari rayanya, bukan hari raya untuk selainnya. Akan tetapi hari raya untuk selainnya masih esok hari jika tidak isbat dengan melihat bulan. Hal ini memberi petunjuk bahwasanya hari raya seseorang/kelompok tidak lantas menjadi hari raya bagi semua orang.”
As-Subki melanjutkan, jika seseorang melakukan shalat ‘Ied, sementara keyakinannya masih belum masuk waktunya, maka shalat ‘Iednya tidak sah.
فإن اضطر شخص إلى الحضور مع السواد الأعظم وعدم مخالفتهم فينبغي أن ينوي الضحى فإنه إذا نوى العيد لم يصح فى اعتقاده ولايجوز أن ينوي ما لا يصح -الى أن قال- قلنا ينبغي أن ينوي الضحى أو نفلا مطلقا ويصح اقتداءه بالذى يصلى العيد إذا كان جاهلا بأنصلاته صحيحة فيصح الإقتداء به ولا يضر الإختلاف فى النية
“Jika seseorang terpaksa hadir (melaksanakan shalat ‘Ied) dengan mengikuti golongan yang lebih banyak dan tidak menentangnya, maka sebaiknya ia berniat shalat Dhuha. Sebab, jika ia berniat shalat ‘Ied, tentu tidak sah sesuai dengan keyakinannya.
Dan tidaklah boleh berniat melakukan ibadah yang tidak sah … saya berpendapat, sebaiknya ia berniat shalat Dhuha atau sunnah mutlaq. Dengan demikian, ia sah bermakmum kepada orang yang shalat ‘Ied jika tidak tau bahwa shalat ‘Ied mnya itu tidak sah. Dan sah pula shalat ‘Ied bermakmum kepada imam (yang shalat Dhuha). Perbedaan niat seperti ini tidaklah menimbulkan masalah.”
Maka sudah jelas, bahwa shalat yang dilakukan oleh sang imam yang belum meyakini masuknya waktu shalat ‘Ied hukumnya tidak sah jika diniati shalat ‘Ied. Sedangkan bagi makmum, jika ia tidak tahu jika shalat imamnya tidak sah, maka tetap dihukumi sah shalatnya.
Begitu pula ketika sang imam alim, mengerti, dan niatnya diganti menjadi niat shalat Dhuha. Maka sama-sama sah, baik shalat sang imam ataupun makmum.
Sahkah khutbah ‘Iednya sang khatib yang masih berpuasa?
Antara shalat ‘Ied dengan dua khutbahnya termasuk dua kesunnahan yang tersendiri. Dalam arti keduanya bukan satu paket. Hanya saja, waktu masuknya kesunnahan dua khutbah ‘Ied itu disyaratkan setelah melaksanakan solat ‘Ied terlebih dahulu. Seperti yang dijelaskan di dalam kitab i’anah at-Thalibin di bawah ini.
(قوله: بعدهما) أى بعد صلاة العيدين وبعد صلاة الكسوفين -الى أن قال- واحترز به عما لو قدمتا على الصلاة فإنه لا يعتد بهما كالسنةالراتبة البعدية لو قدمت. (قوله: أي يسن خطبتان الح) أفاد بهذا التفسير أن الخطبتين بعدهما سنة مستقلة
“(Perkataan syarih—penjelas: setelah dua shalat ‘Ied) yakni setelah shalat dua hari raya dan setelah shalat dua gerhana … dan dikecualikan dengannya, persoalan ketika kedua khutbah itu di dahulukan atas shalatnya. Maka yang demikian tidak dianggap (sah) dua khutbah itu, seperti shalat sunnah rawatib ba’diyah jika didahulukan (dari shalat fardhunya). (Perkataan syarih: yakni disunnahkan dua khutbah—sampai akhir) dengan tafsir ini terdapat faidah bahwa sesungguhnya dua khutbah setelah dua shalat hari raya adalah sunnah tersendiri.”
Nah, bisa kita fahami bersama bahwa orang yang belum melaksanakan shalat ‘Ied atau shalat ‘Iednya dianggap tidak sah, maka tidak sah pula khutbah iednya.
Dan yang perlu diingat, di samping tidak sah, jika sudah tahu dan disengaja mengerjakan sebuah ibadah entah itu shalat ‘Ied atau kedua khutbahnya di luar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat, maka haram hukumnya. Karena termasuk orang yang sengaja mengerjakan ibadah fasidah.
Sekian. Wallahu a’lam.
Penulis: Muhammad Atid
Sumber: https://aswajamuda.com/hukum-menjadi-imam-khatib-di-masjid-yang-berbeda-hari-rayanya/