JEJARING SANAD ULAMA NUSANTARA – Selasa 26 April 2016, LTNU Kota Surabaya bekerja sama dengan RMI NU Jawa Timur dan HMJ SKI UIN Sunan Ampel Surabaya mengadakan Bedah Buku “Masterpiece Islam Nusantara; Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945)” karya Zainul Milal Bizawie. Bedah Buku tersebut diadakan dalam rangka Hari Lahir Nahdlatul Ulama ke-93. Bertindak sebagai pembicara adalah Zainul Milal Bizawie, penulis buku Masterpiece Islam Nusantara dengan pembanding Dr. Ahmad Muhibbin Zuhri, selaku Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Surabaya, dan dipandu oleh moderator Chafid Wahyudi dari pegiat Komunitas Baca Rakyat (KOBAR).
Pada sesi sambutan, Rizal Mumazziq selaku ketua LTNU Kota Surabaya menyebutkan bahwa salah satu keistimewaan dari Islam Nusantara adalah adanya sistem jejaring sanad para ulama yang sampai kepada Rasulullah. Menarik ketika membaca tulisan dalam buku tersebut di mana penulis memulai sanad ulama nusantara dari tahun 1830. Menurut Rizal, jika diteliti lebih lanjut, ternyata titik tumpu atau silsilah pohon ilmu pada tahun 1830 itu berasal dari pesantren yang semuanya berawalan “T”, yaitu Tebuireng, Tambak Beras, Tremas, dan Takeran.
Sebelum bedah buku yang dimoderatori oleh Chafid Wahyudi ini dimulai, moderator mengutip salah satu statement kontroversial yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara ini identik dengan Islam Sinkretis yang justru memberikan image negatif pada wajah Islam sendiri. Akan tetapi ketika diskusi bedah buku dimulai, Zainul Milal menyanggah statement tersebut dengan mengemukakan bahwa justru dengan Islam Nusantara inilah Islam semakin menunjukkan kesempurnaan. Watak bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah menjadi klop ketika akulturasi dengan ajaran Islam yang mempunyai ajaran tentang keramahan itu. Maka tidak heran ketika Islam menjadi agama mayoritas di negeri ini.
Dalam seminar bedah buku tersebut Zainal Milal mengatakan “Pada intinya Negara Indonesia ini disatukan oleh para ulama yang punya koneksi mulai dari Aceh sampai Timur.” Sebagaimana yang terdapat dalam bukunya itu, Zainal menyebut bahwa berdirinya bangsa Indonesia ini tak lepas dari proses panjang yang terbentuk dan terkonsolidasi oleh jejaring ulama Timur Tengah dan Nusantara. Poros ulama Nusantara yang berada di Haramain, seperti Syaikh Khatib Sambas, Syaikh Ismail al-Minangkabawi, Syaikh Khatib Minangkabawi, Syaikh Nawawi Banten, dan Syaikh Mahfud Tremas, ini telah berhasil membentuk solidaritas ulama. Jejaring ulama tersebut semakin kuat, ketika para ulama tersebut kembali ke tanah air untuk mendirikan pesantren.
Ulama-ulama Nusantara di Makkah telah meletakkan dasar bagi terciptanya jejaring ulama di Nusantara yang kemudian menjadi sebuah komunitas ulama. Tidak hanya melalui pendirian pesantren, jejaring tersebut juga muncul dalam bidang spiritual maupun intelektual. Jejaring ulama tersebut kian kuat ketika para ulama tersebut disatukan dengan nasab. Misalnya, dalam hal sanad keilmuan sekaligus nasab, Syaikh Hasyim Asy’ari nampak berporos pada sosok Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) melalui jalur Syaikh Abdurrahman Basyaiban (Pangeran Sumbu). Nah dari sinilah, Syaikh Hasyim Asy’ari kemudian bersambung sanad sekaligus keilmuan dengan keturunan Pangeran Sambu yang lain seperti KH. Muhammad Faqih Maskumambang Gresik, Kiai Siddiq Jember, Mbah Ma’shum, Mbah Baidlowie, Mbah Zubair, Mbah Abdul Aziz, Kiai Umar Harun, dan sebagainya.
Muhibbin Zuhri, Ketua Tanfidziyyah PCNU Surabaya, yang dalam seminar tersebut bertindak sebagai pembanding memberikan statement “Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang bermadzhab, sementara dalam sistem madzhab itu ada klaim keotentikan karena adanya tasalsul sanad. Sebagai contoh, dalam pengajaran Shahih Bukhari, Mbah Hasyim menempati urutan ke 24 dalam jalur sanad tersebut”. Atas hal tersebut, maka generasi selanjutnya akan selalu berupaya untuk menyambungkan sanad keilmuannya kepada mbah Hasyim agar sanad keilmuannya sampai kepada Rasulullah. M. Afif Ghorsiki/Danis