Mbah Sholeh Darat dan Pendidikan Masyarakat Awam – Oleh M. Rikza Chamami
Membincang figur KH Sholeh bin Umar bin Sholeh as Samarani (dikenal Mbah Sholeh Darat) tidak akan selesai dalam satu dua bulan. Banyak sisi menarik dari sosok pejuang ilmu dan Grand Syaikh ulama Jawa ini. Apalagi jika mendiskusikan karya-karya yang telah dicetak sebagai peninggalan pemikirannya.
Dari sisi ketokohan, Mbah Sholeh Darat bukan ulama biasa. Ia tergolong luar biasa karena merasakan betapa hidupnya diabadikan untuk dunia ilmu dan kebangsaan.
Dalam dunia ilmu, Mbah Sholeh dikenal sebagai sosok yang konsisten dalam mencari ilmu dari ulama yang sangat otoritatif memiliki sanad ilmu yang bersambung hingga Rasulullah. Gurunya yang ada di Jawa dan Makkah juga bukan ulama biasa, melainkan ulama besar yang memiliki kapasitas keilmuan yang luar biasa.
Dari sisi kebangsaan, sosok Mbah Sholeh Darat hadir memberikan contoh dalam menghadang kolonisasi. Itu dilakukan karena ayah Mbah Sholeh adalah pasukan perang Diponegoro yang berjuang bersama dengan Kyai Darda’ dan Kyai Sada’. Jika ayahnya melawan penjajah, Kyai Sholeh melawan penjajah dengan keilmuan.
Nalar keilmuan dan kebangsaan Mbah Sholeh menyatu menjadi keteguhan dalam membela masyarakat awam untuk tetap teguh berilmu dan berani menentang penjajah.
Meniru gaya pakaian penjajah saja bagi Mbah Sholeh itu haram. Maka para murid beliau KHR Asnawi Kudus dan KH Hasyim Asy’ari juga ikut menggelorakan haramnya memakai dasi, celana dan pakaian yang menyamai Belanda.
Dalam 13 naskah karya yang ditinggalkan Mbah Sholeh Darat yang saya miliki, semuanya disusun dengan bahasa Jawa dan huruf pegon (almarikiyyah). Secara tegas Mbah Sholeh menyatakan bahwa dengan bahasa Jawa itu akan mudah dipahami oleh orang awam.
Inilah yang menjadikan tanda nyata bahwa Mbah Sholeh hadir sebagai gurunya orang Jawa karena kitabnya dihadirkan dengan bahasa orang Jawa. Namun Mbah Sholeh masih tetap menuliskan kalimat-kalimat awalnya berasal dari bahasa Arab.
Jadi dapat diambil benang merah bahwa Mbah Sholeh masih konsisten menjaga originalitas bahasa Arab dan kemudian menerjemahkan dengan bahasa Jawa yang mudah dimengerti oleh orang awam.
Dalam kondisi penjajahan Belanda saat itu, Mbah Sholeh dengan gigihnya menerjemahkan al-Qur’an, fiqh, tauhid, tasawwuf dan lainnya. Dan ini cukup kuat meyakinkan bahwa masyarakat Jawa didorong untuk kuat dalam menguasai ilmu-ilmu agama.
Mendidik orang awam memang butuh menggunakan bahasa orang awam. Begitu pula cara Mbah Sholeh Darat mendidik orang Jawa juga dengan bahasa Jawa.
Mbah Sholeh Darat sukses menjawakan al-Qur’an dalam karyanyaTafsir Faidlu al Rahman, dengan tetap menjaga dan mencantumkan ayat al Qur’an yang aslinya berbahasa Arab. Terjemahan al Qur’an karya Mbah Sholeh juga terdapat di dalam Kitab Fashalatan yang menjelaskan ayat-ayat juz 30 untuk bacaan shalat.
Betapa indah pilihan bahasa yang dipakai oleh Mbah Sholeh dalam mendidik dan menjelaskan pada orang awam. Tidak nampak sedikitpun cara ia mendikte orang awam, karena dengan ketawadlua’annya Mbah Sholeh menyebut dirinya juga sebagai orang awam.
Cukup kita tegaskan bahwa Mbah Sholeh Darat adalah guru sejati bagi orang awam. Guru yang ingin memandaikan orang-orang di kampung agar paham agama. Ilmu yang mendalam darinya dimanfaatkan untuk mencerdaskan orang awam.
Semoga kita semua bisa meneladani dan mampu membaca karya-karya yang ditinggalkan Mbah Sholeh Darat.*)