oleh M. Ahfasy Syifa’ Afandi
Selama ini, literasi kitab fiqh sepertinya terus beralienasi dengan waktu. Pertama, kitab fiqh bercorak deskruktif. Maksudnya, pembahasan masalah berikut penjabarannya (syarah). Kemudian hadir fiqh adaptif, literasi kitab fiqih yang menawarkan lebih sistematis dan sesuai dengan kebutuhan. Seperti hadirnya Fiqhul Mâbadi’, kajian fiqh untuk kalangan pemula atau Fiqh al Wadih, yang merespon setiap permasalahan dengan demikian transparan dan sistematis. Kedua bagian ini mempunyai standar dan objek berbeda, maka tidak mengherankan jika satu telah ditinggalkan, maka akan beralih pada yang lainnya.
Di tengah pencarian reposisi yang tepat, ternyata masih terdapat segelintir kitab-kitab fiqh yang mengambil jalan berbeda. Di antaranya adalah kitab Mûtun as-Syarif , karya Syekh Kholil Bangkalan. Kitab satu ini menawarkan konsep yang jauh berbeda, oleh penulis dibahasakan dengan fiqih-tematis, kajian yang —mungkin— ditunjukkan kepada kalangan pemula (Mubtadi’) dengan otokrasi rukun Islam. Kitab ini berusaha merepresentasi rukun Islam dalam bingkai fiqh sebagai ranah yang selama ini sepertinya hanya berbicara halal-haram. Meskipun banyak kitab-kitab serupa, buktinya kitab satu ini mampu menyajikan dari sudut pandang berbeda.
Melacak tradisi keilmuan Syekh Kholil:
Dari Demangan ke Makah al-Mukarromah
Di penghujung abad 16 masehi, sewaktu nusantara berada dalam pengaruh kolonialisme, lahir beberapa ulama yang terus berkelindan di beberapa masa, memainkan peranannya dalam percaturan politik kerajaan di saat di mana kerajaan-kerajan Islam mulai tumbuh pesat semenjak pertengahan abad 16 tersebut. Di saat yang bersamaan, tradisi jaringan ulama nusantara berada dalam masa transisi. Mereka tidak melulu bergelut dalam lingkarang halaqoh-halqoh, namun menjadi garda terdepan dalam proses merebut kemerdekan dan melawan feodalisme penjajah.
Menarik alur historis peranan mereka, setidaknya melalui proses fluktuasi; naik turun sesuai dengan kondisi masyarakat. Pada masa-masa tersebut menyeruak pergerakan neo-sufisme dalam kurun waktu berbeda, di antara mereka adalah Nur ad-Din Al-Raniri (1068-1658), ‘Abd al-Rouf Al-Singkel (1615-1693), dan Muhammad Yusuf al-Makasari (1627-1690). Nama terakhirlah yang begitu gigih dalam menggapai proses kemerdekaan, di samping ia sebagai pejuang, juga sebagai tokoh sufi dalam pergerakan neo-sufimenya, menggapai jalan tuhan tanpa menanggalkan keduniawian. Tidak seperti pendahulunya dalam sejarah awal Islam yang menanggalkan keduniawian, al-Makasari berjalan di antara aktifisme yang sangat luas.
Sedangkan memasuki abad 18 tidak mengalami perubahan berarti. Para ulama atap berada di jalurnya, yakni sebagai pengajar agama sekaligus pejuang kemerdekaan. Keilmuan mereka tidak hanya diukur lewat penguasaannya tentang ilmu agama, melainkan sejauh mana peranannya dalam usaha kemerdekaan. Di samping itu, umumnya mereka dipanggil ulama jika telah menguasai beberapa fan ilmu, maka tidak mengherankan jika mereka setelah merampungkan studinya di pesantren, melanjutkan ke beberapa tempat yang menjadi pusat studi Islam, dan salah satunya adalah Makkah, Saudi Arabia yang menjadi jajakan utama mereka waktu itu. Dari bumi halal itulah pelajar Indonesia menjamur untuk belajar ke beberapa ulama setempat, bahkan ada pula yang belajar kepada penduduk pribumi yang puluhan tahun mengabdikan hidupnya untuk mengajar ilmu agama.
Di antara mereka adalah Muhammad Kholil ibn ‘Abd Latif, pemuda sederhana asal Bangkalan, Madura. Merentet alur geologis beliau, Syekh Kholil merupakan putra ‘Abd al-Latif, seorang da’i keliling dari desa Langgundih, Keramat, Bangkalan. Sedangkan Kakeknya adalah Kiai Hamim, yang beristri saudara perempuan Kiai Nur Hasan pendiri pesantren Sidogiri. Masa kecilnya dihabiskan bersama kakak perempuannya, Maryam. Semenjak itu, Muhammad Kholil menghabiskan waktunya untuk belajar ilmu agama. Menginjak usia dewasa beliau mulai berlabuh ke beberapa pesantren, di antaranya pesantren Bungah, Gresik, yang diasuh oleh Kiai Soleh. Hingga sesaat sebelum melanjutkan studinya ke Makkah, beliau sempat singgah di salah satu pesantren di Banyuwangi.
Sebagai impiannya selama ini, beliau memutuskan untuk belajar ke Makkah, yang saat itu menjadi landmark pusat studi Islam. Dari tempat ini pula hadir beberapa ulama nusantara yang sangat intens memainkan peranannya, seperti Syekh Khotib Sambas; pionir toriqoh Qodiriyah wa Naqsabandiyyah, sekaligus guru mursyid beliau, Syekh Nawawi Banten, dan Syekh Mahfudz Termas. Di samping belajar pada ulama nusantara yang ada di Makkah, tercatat beliau juga belajar pada ulama-ulama setempat, di antaranya Syekh Ali Al-Mishri, Syekh Umar As-Sami; ulama yang namanya sering disebut dalam salah satu catatan beliau, Syekh Khalid Al-Azhari, Syekh Al-Aththar, Syekh Abun-Naja, Syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyyah Ar-Rahbini, dan masih banyak lagi guru-guru beliau.
Dalam perjalanan panjang ini, Syekh Kholil telah melawati masa pembelajaran yang sangat penting, menjadikan beliau sebagai ulama yang melahirkan murid-murid yang mewarnai dalam pentas sejarah nasional, seperti KH. Hasyim Asy’ari misalnya; Pendiri Orgnisasi Nahdlatul Ulama (NU), KH. Abdul Karim; pendiri Ponpes Lirboyo, KH. Bisri Mustofa, dan masih banyak lagi.
Pun sebagai ulama yang tergolong produktif menghasilkan karya, di antaranya Mûtun as-Syarif, kitab fiqih setebal 52 halaman yang rampung ditulis pada 1299 H. Menurut salah satu sumber, dalam naskah aslinya beliau sering m salah satu gurunya, Syekh Umar as-Sami. Mengakhiri perjalanannya dalam mencari ilmu, Syekh kholil memantapkan dakwahnya dengan menetap di pesantren Demangan, Bangkalan. Mengakhiri bukan berarti untuk menganggap tugas berakhir, melainkan melanjutkan perjuangan panjang para pendahulunya.
Mûtun As-Syarif; Mengenal Fiqh-Tematis dari Dalam
Kehadiran kitab-kitab fiqh macam Mûtun as-Syarif atau kitab serupa yang pernah ada, tidak berlangsung begitu saja. Kehadirannya melalui proses yang amat panjang, mengisi kekosongan diantara celah-celah yang seringkali terlupakan, seperti kitab fiqh bercorak deskruktif, yang umumnya terdiri dari beberapa jilid dengan mencakup pembahasan yang demikian kompleks. Ada pula kitab fiqh yang disusun dari hasil diskusi (baca: fatawi) dalam forum tertentu. Dan di antara keduanya terdapat literasi fiqih yang mencoba mengambil jalan tengah, salah satunya adalah Mûtun as-Syarif. Kitab setebal 52 halaman ini berusaha menyuguhkan wajah fiqh yang lebih sederhana. Dalam kitab tersebut, beliau merangkainya dengan sistematis, berdasarkan rukn Islam, yang dimulai dari syahadat dan berakhir dengan haji.
Sejalan dengan pengertian fiqh yang selama ini dikenal, Mûtun as-Syarif sebenarnya mampu menyuguhkan wajah fiqh dalam nuansa berbeda; berupaya berelaboraasi antara fiqh dan rukn Islam. Bukan hanya itu, kitab ini mampu mendobrak kejumudan literasi kitab-kitab fiqh yang telah ada, ia memaparkan melalui pendekatan ideologis, berusaha mengambil empati di antara persoalan yang seringkali terlupakan. Menjadikannya alternatif di saat yang lain hanya berkutat dengan persoalan ibadah keseharian (ubudiyyah), pernikahan (munakahah), hubungan entitas sosial (muamalah), dan lain sebagainya.
Pemahaman ini berdasarkan bahwa hukum Islam hanya bercorak ke-fiqih-annya, tidak menyentuh pada dimensi yang lain, semisal tasawuf atau tauhid. Seperti yang didefinisikan Sayyid Abu Bakkar al-Ahdaly al-Yamani as-Syafi’i, fiqh ialah sebuah aturan yang besifat amaliyyah seperti sholat, zakat, dan haji. Bukan ‘itiqodiyah seperti meyakini tentang ke-esa-an Allah swt., pun dihasilkan dari dalil tafsili bukan ijmali seperti taqlid tentang satu masalah. Beliau menyatakan:
العلم باالاحكام الشرعية العملية المكتسب من ادلتها التفصلية
Dengan demikian, ketika rukun Islam sebagai kewajiban yang pertama kali harus diketahui seorang muslim, mampu diterjemahkan dalam wujud aslinya, yakni sebagai pranata agama. Dengan sendirinya pembaca akan dibawa pada dua tatanan sekaligus. Pertama mengetahui rukun Islam itu sendiri, sekaligus merefleksikannya dalam keseharian.
Lantas kenapa dalam Mûtun as-Syarif hanya menampilkan persoalan syahadat, sampai persoalan haji, tanpa menyebutkan pembahasan bab-bab berikutnya?
Menarik dicatat. Seorang dilahirkan membawa fitrah yang sangat mulia, menjadi khalifah di muka bumi. Setiap gerak langkahnya berada dalam lingkaran norma-etika, bahkan untuk persoalan pribadi sekalipun seorang tidak bisa lepas dari aturan. Dalam hal ini adalah aturan menjalankan perintah agama dengan mengamalkan fiqh sebagai sandaran. Melalui kewajiban inilah seorang diperkenalkan pada dua hukum normatif; fardlu kifayah (kewajiban kolektif), yakni kewajiban yang dijalankan oleh sebagian orang, maka kewajiban yang lain dapat gugur dan fardlu ‘ain (kewajiban personal), yakni kebalikannya, ketika telah dilakukan oleh sebagian kelompok, maka yang lain tetap berkewajiban untuk menjalankannya seperti sholat, zakat, dan puasa.
Dan hal ini sebagaimana yang terdapat dalam Mûtun as-Syarif, pembahasannya seputar syahadat, sholat, sampai haji, tidak lain karena hal itu adalah fardlu ‘ain (kewajiban personal). Sedangkan pembahasan setelahnya seperti jihad, hanyalah fardlu kifayah yang tututan (taklif) akan berkesudahan jika telah dilakukan oleh sebagian orang. Dengan demikian, persoalan yang harus dilakukan pertama kali, mungkin juga yang terdapat dalam Mûtun as-Syarif, adalah mengetahui tentang fardlu ‘ain, baru kemudian mengetahui yang lebih luas dan termasuk dalam kewajiban kifai atau kewajiban kolektif.
Penutup
Selama ini, ‘penikmat’ literasi kitab fiqh di hadapkan pada dua pilihan, pertama memakai kitab fiqh bercorak deskruktif yang umumnya membahas persoalan demikian luas dengan ketebalan berjilid-jilid atau beralih pada kitab fiqh yang relatif lebih tipis, namun sistematis. Jika memang demikian, tentu keduanya saling bertautan mengisi kekosongan antara satu sama lain.
Mula-mula seseorang akan dituntun mengetahui persoalan (baca: hukum Islam atau fiqh) yang lebih ringan dengan merujuk kitab-kitab fikih yang ringan pula, baru kemudian melangkah yang lebih luas dengan persoalan yang lebih kompleks. Proses ini tentu tidak berjalan dengan sendirinya, melainkan melalui proses yang sesuai dengan kadar kemampuan penikmat fan satu ini. Maka tidak mengherankan jika satu kitab telah dikuasai maka akan beralih pada kitab lainnya, dan begitu seterusnya.
Penulis adalah santri Lirboyo kelas 2 Aliyah dan redaktur Mading Hidayah